Minggu
ini akan diadakan sebuah ujian untuk menentukan kelulusan pelajar-pelajar di
seluruh Indonesia. Hasil jerih payah selama 3 tahun di sekolah ditentukan
dengan hanya beberapa hari. Cliche. Disini saya bukan sebagai orang yang akan
menjalani, tapi sebagai orang yang sudah menjalani ujian tersebut. Memang
perdebatan masih terus berlangsung mengenai apakah masih bisa UN dijadikan
taraf dalam skala nasional untuk menentukan kelulusan. Lebih klise nya lagi
seperti yang banyak orang bilang, input nya beda tapi masa iya output nya mau
di sama ratakan.
Apakah
kita bisa sama ratakan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia? Kualitas
pendidikan yang baik pastinya harus disokong dengan keberadaan beberapa faktor
yang mumpuni seperti infrastruktur sekolah yang dan tenaga pendidik yang bagus.
Mari kita lihat dengan perspektif lebih luas. Kemarin, saya baru saja menonton
sebuah film pendek tentang sebuah Pulau Terluar yang lebih sering ditelantarkan
oleh pemerintah. Pulau Marore, Sulawesi
Utara, terletak di batas negara paling luar yang bersentuhan langsung dengan
Filipina. Ya, disana masih ada sekolah, lengkap dari SD sampai SMA. Tapi apakah
kita bisa sama rata kan kualitas nya dengan pendidikan di kota-kota besar lain
nya seperti Jakarta atau Bandung? Tentu saja tidak. Di Jakarta, yang dipenuhi
segala infrastruktur siswa bisa dengan gampang mendapatkan akses pendidikan
baik itu dari internet maupun dari buku-buku yang nampaknya akhir-akhir ini
mulai berdebu di perpustakaan karena jarang di sentuh. Di Marore, jangan anda
bayangkan internet, bahkan mendapatkan sinyal te`lepon pun anda harusnya sudah
bersyukur. Saya rasa pemerintah sedang pulling a prank dengan sistem pendidikan
sekarang.

Bukan.
Bukan saya mendiskreditkan kemampuan pelajar dari daerah lain. Saya percaya
dengan segala keterbatasan itu, pasti ada segelintir dari mereka yang bahkan
lebih pintar dari anak-anak kota besar. Segelintir. Bagaimana sebagian besar
lain nya? Saya masih ingat waktu saya Kuliah Kerja Nyata di sebuah desa di
Tasikmalaya. disana banyak anak-anak SMP langsung putus sekolah setelah lulus
karena terlalu malas mengikuti sistem pendidikan negeri ini. Entah antara bodoh
atau mereka memang menganut paham anarki. Mereka lebih memilih menikah atau
langsung saja bekerja. Tapi mungkin lebih banyak yang jadi pengangguran.
Bermodalkan ijazah SMP mereka nekat menuju ibukota, urbanisasi. Bayangkan ada
berapa daerah tertinggal? Ada berapa orang-orang nekat tanpa skill tertentu
yang tiap tahun nya nekat menuju ibukota? We’re fucked. Urbanisasi merupakan
salah satu gelombang yang tidak bisa ditahan lajunya selain gelombang asmara.
Tapi
mau di bawa kemana negara ini jika penerus nya saja sudah malas untuk belajar
dan sekolah? Disini saya mau menyalahkan sistem. Sistem pendidikan negara ini
sudah terlalu kacau dan saya bahkan tidak tahu mau mulai dimana untuk mencoba
memulai memahami nya. Saya rasa konsep Ujian Nasional sebaik nya sudah mulai di
tinggalkan. Daripada memikirkan perlu atau tidak nya UN dilaksanakan, lebih
baik kita pikirkan sebuah sistem pengganti selain UN yang lebih efektif dalam
hal penglegalisasi kelulusan ini.
Pernah
saya diskusi panjang dengan teman saya yang mengaku mahasiswa politik. Dia
mengajukan sebuah sistem bahwa ujian nasional harusnya intern hanya sekolah
saja. Jadi sekolah yang lebih tahu kemampuan siswa nya dan tidak ada lagi
penyamarataan output tapi beda input dari sistem UN. Menarik. Ada benar nya
juga, tapi praktek kecurangan disini bakal lebih banyak lagi. Jika kita
menyerahkan semua ke sekolah yang terjadi adalah tidak akan ada siswa yang
tidak lulus. Kenapa? Pasti sekolah-sekolah tidak mau nama nya tercoreng dengan
ada siswa nya yang tidak lulus. Disini praktek korupsi pasti banyak dilakukan
oknum-oknum tertentu. Praktek tersebut juga ternyata sudah pernah dilakukan juga pada medio orde lama.
Lalu
apa sebenarnya sistem yang pas untuk pendidikan kita? Entah lah, disini saya
hanya ingin menyampaikan opini saya mengenai sistem pendidikan kita sekarang.
Sampai tulisan ini ditulis tidak ada suatu ide hebat di otak saya mengenai
sebuah sistem yang inovatif mengenai sistem pendidikan. Kementerian Pendidikan
harusnya mengadakan kuis berhadiah iPad bagi siapapun yang bisa menemukan
sebuah sistem yang efektif untuk pendidikan negeri ini. Kenapa dengan metode
kuis berhadiah? Banyak orang apatis menjadi lebih peduli jika ada sebuah
imbalan. Makin susah menemukan orang yang tanpa pamrih apa-apa tapi tetap
peduli jaman ini. Selain itu kuis ini juga mengurangi kerja dari Kementrian
Pendidikan bukan? Ide ini jenius. Mungkin daripada mengurusi urusan santet dan
pornografi baiknya wakil rakyat terhormat yang duduk dan entah berdiskusi atau
tidur itu, memikirkan masalah pendidikan ini.
Selamat
mengerjakan Ujian Nasional teman-teman pelajar Indonesia. Entah sampai kapan
kita bertahan dengan sistem ini.
"Are we alright? No, we are not.
We’re just don’t give a shit. Mungkin hanya sebatas lewat kata-kata, tapi saya menolak untuk acuh untuk urusan ini."