Tuesday, April 16, 2013

#melankolia 3

Malam ini hujan lagi
Disini, sehabis hujan selalu ada rindu yang berlebihan
Ada sesak yang tertahan, menolak dikeluarkan
Kupandangi lagi foto itu
Ada kamu dan aku disitu, senyum menghiasi wajah kita
Sudah lama aku rindukan lengkungan itu

Kubaca lagi rekaman pembicaraan kita
Andai mengucapkan selamat malam dan semoga mimpi indah semudah dulu
Jarakku dan kamu hanya sebatas gambar telepon hijau di perangkatku
Aku tahu tidak lagi ada "aku sayang kamu" di akhir pembicaran
Atau kecupan digital yang melayang tipis melalui udara.

Dulu kita sama-sama berkebun
Berkebun perasaan
Kamu menanam aku yang menyiram
Aku merawaat kamu memetik
Tapi di taman ini sekarang hanya ada aku
Masih setia merawat pohon ini
Sendirian

Mungkin kamu sudah menemukan kebun lain nya
Kebun yang kaya akan antorium jutaan rupiah
Kebun ku memang payah
Kebun ku memang tidak seindah kebun lain nya
Kebun ku pun membosankan, tidak ada orang yang kembali untuk berkujung

Tak apalah
Aku rindu
Aku rindu dekapan mu yang berarti satu, pulang.


Monday, April 15, 2013

Ujian Nasional Dimata Saya


               Minggu ini akan diadakan sebuah ujian untuk menentukan kelulusan pelajar-pelajar di seluruh Indonesia. Hasil jerih payah selama 3 tahun di sekolah ditentukan dengan hanya beberapa hari. Cliche. Disini saya bukan sebagai orang yang akan menjalani, tapi sebagai orang yang sudah menjalani ujian tersebut. Memang perdebatan masih terus berlangsung mengenai apakah masih bisa UN dijadikan taraf dalam skala nasional untuk menentukan kelulusan. Lebih klise nya lagi seperti yang banyak orang bilang, input nya beda tapi masa iya output nya mau di sama ratakan.

                Apakah kita bisa sama ratakan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia? Kualitas pendidikan yang baik pastinya harus disokong dengan keberadaan beberapa faktor yang mumpuni seperti infrastruktur sekolah yang dan tenaga pendidik yang bagus. Mari kita lihat dengan perspektif lebih luas. Kemarin, saya baru saja menonton sebuah film pendek tentang sebuah Pulau Terluar yang lebih sering ditelantarkan oleh pemerintah. Pulau Marore,  Sulawesi Utara, terletak di batas negara paling luar yang bersentuhan langsung dengan Filipina. Ya, disana masih ada sekolah, lengkap dari SD sampai SMA. Tapi apakah kita bisa sama rata kan kualitas nya dengan pendidikan di kota-kota besar lain nya seperti Jakarta atau Bandung? Tentu saja tidak. Di Jakarta, yang dipenuhi segala infrastruktur siswa bisa dengan gampang mendapatkan akses pendidikan baik itu dari internet maupun dari buku-buku yang nampaknya akhir-akhir ini mulai berdebu di perpustakaan karena jarang di sentuh. Di Marore, jangan anda bayangkan internet, bahkan mendapatkan sinyal te`lepon pun anda harusnya sudah bersyukur. Saya rasa pemerintah sedang pulling a prank dengan sistem pendidikan sekarang.

                Bukan. Bukan saya mendiskreditkan kemampuan pelajar dari daerah lain. Saya percaya dengan segala keterbatasan itu, pasti ada segelintir dari mereka yang bahkan lebih pintar dari anak-anak kota besar. Segelintir. Bagaimana sebagian besar lain nya? Saya masih ingat waktu saya Kuliah Kerja Nyata di sebuah desa di Tasikmalaya. disana banyak anak-anak SMP langsung putus sekolah setelah lulus karena terlalu malas mengikuti sistem pendidikan negeri ini. Entah antara bodoh atau mereka memang menganut paham anarki. Mereka lebih memilih menikah atau langsung saja bekerja. Tapi mungkin lebih banyak yang jadi pengangguran. Bermodalkan ijazah SMP mereka nekat menuju ibukota, urbanisasi. Bayangkan ada berapa daerah tertinggal? Ada berapa orang-orang nekat tanpa skill tertentu yang tiap tahun nya nekat menuju ibukota? We’re fucked. Urbanisasi merupakan salah satu gelombang yang tidak bisa ditahan lajunya selain gelombang asmara.  

                Tapi mau di bawa kemana negara ini jika penerus nya saja sudah malas untuk belajar dan sekolah? Disini saya mau menyalahkan sistem. Sistem pendidikan negara ini sudah terlalu kacau dan saya bahkan tidak tahu mau mulai dimana untuk mencoba memulai memahami nya. Saya rasa konsep Ujian Nasional sebaik nya sudah mulai di tinggalkan. Daripada memikirkan perlu atau tidak nya UN dilaksanakan, lebih baik kita pikirkan sebuah sistem pengganti selain UN yang lebih efektif dalam hal penglegalisasi kelulusan ini.

                Pernah saya diskusi panjang dengan teman saya yang mengaku mahasiswa politik. Dia mengajukan sebuah sistem bahwa ujian nasional harusnya intern hanya sekolah saja. Jadi sekolah yang lebih tahu kemampuan siswa nya dan tidak ada lagi penyamarataan output tapi beda input dari sistem UN. Menarik. Ada benar nya juga, tapi praktek kecurangan disini bakal lebih banyak lagi. Jika kita menyerahkan semua ke sekolah yang terjadi adalah tidak akan ada siswa yang tidak lulus. Kenapa? Pasti sekolah-sekolah tidak mau nama nya tercoreng dengan ada siswa nya yang tidak lulus. Disini praktek korupsi pasti banyak dilakukan oknum-oknum tertentu. Praktek tersebut juga ternyata sudah pernah dilakukan juga pada medio orde lama. 

                Lalu apa sebenarnya sistem yang pas untuk pendidikan kita? Entah lah, disini saya hanya ingin menyampaikan opini saya mengenai sistem pendidikan kita sekarang. Sampai tulisan ini ditulis tidak ada suatu ide hebat di otak saya mengenai sebuah sistem yang inovatif mengenai sistem pendidikan. Kementerian Pendidikan harusnya mengadakan kuis berhadiah iPad bagi siapapun yang bisa menemukan sebuah sistem yang efektif untuk pendidikan negeri ini. Kenapa dengan metode kuis berhadiah? Banyak orang apatis menjadi lebih peduli jika ada sebuah imbalan. Makin susah menemukan orang yang tanpa pamrih apa-apa tapi tetap peduli jaman ini. Selain itu kuis ini juga mengurangi kerja dari Kementrian Pendidikan bukan? Ide ini jenius.   Mungkin daripada mengurusi urusan santet dan pornografi baiknya wakil rakyat terhormat yang duduk dan entah berdiskusi atau tidur itu, memikirkan masalah pendidikan ini.

                Selamat mengerjakan Ujian Nasional teman-teman pelajar Indonesia. Entah sampai kapan kita bertahan dengan sistem ini.

"Are we alright? No, we are not. We’re just don’t give a shit. Mungkin hanya sebatas lewat kata-kata, tapi saya menolak untuk acuh untuk urusan ini."