Monday, March 31, 2014

Di Simpang Jalan


Sejujur nya saya sedang bingung seperti orang di tengah persimpangan itu. Ditengah-tengah usaha saya menamatkan studi saya tiba-tiba muncul pikiran 'Oke, lulus. Terus mau jadi apa? Udah tau mau kemana?'. Jujur sebagai mahasiswa tingkat akhir ini pertanyaan yang amat sangat filosofis. Hahaha. 

Jadi gini kenapa saya bingung nya, saya sekarang masih kuliah di jurusan Ilmu Kelautan. Sebuah jurusan yang anti-mainstream sekali bukan. Mungkin kalau saya anak Komunikasi, Ekonomi, Manajemen dan berbagai jurusan lain nya yang lebih banyak orang kenal tentu saya tidak akan terlalu bingung. Ya jelas setiap tahun nya banyak perusahaan buka lowongan untuk jurusan  mainstream tersebut. Tidak ada maksud mengkotak-kotakkan jurusan ini istilah yang saya buat sendiri. Sementara bagaimana dengan jurusan saya sendiri?

Cukuplah idealisme yang ditanamkan selama kuliah tentang pekerjaan yang harus selalu berhubungan dengan apa yang kita pelajari selama kuliah ini. Cukup. Sudah banyak saya melihat idealisme yang mentok dengan sesuatu yang dinamakan kenyataan. Banyak teman-teman saya yang lulus lalu kemudian bingung dengan gelar yang di punya. Sementara itu tentu tidak ada yang peduli bukan dengan kebingungan itu, yang ada cuma tuntutan untuk segera mandiri dan bisa cari makan sendiri. Famiiliar guys? Iya, terimakasih. 

Kadang saya iri dengan gajah. Gajah kecil tidak butuh waktu lama untuk segera mandiri dan bisa hidup sendiri tanpa bantuan induknya. Gajah tidak perlu edukasi dengan tau segala macam hal. Yang iya perlu tau adalah dimana dia bisa mencari makan dan bagaimana menghindari predator. Manusia juga seperti itu bukan, yang terpenting dari segala hal agar tidak lapar dan tidak mati termangsa, maka manusia harus survive, survive dengan bekerja, pekerjaan didapat setelah melalui tahapan edukasi dan berulang-ulang terus entah sampai kapan. Saya memuji yang menemukan sistem ini, well done sir. 

Apakah saya merasa salah masuk jurusan? Awalnya iya. Saya punya kesempatan masuk kampus negeri lainnya yg 180 derajat berbeda dengan oseanografi. Tapi apa saya berhenti? Tidak. Saya kira saya sudah terlanjur jatuh ke dalam lubang ini, lubang yang ternyata diisi air laut, so dibanding harus merangkak menuju tepip lalu bangun dan keluar dari lubang, kenapa ga sekalian saya belajar berenang, menyelam dan menikmati lobang itu, toh kita tidak pernah tau ketika sudah keluar dari lubang kita tidak akan terperosok ke lubang-lubang lainnya. Dan ternyata makin lama ternyata saya makin suka dan tidak lagi merasa salah jurusan. 

Saya rasa kebanyakan dari anak-anak SMA sekarang, bahkan ketika jaman saya dulu, kita masih belum tau apa yang benar-benar kita mau apa. Mau jadi apa kita? Mau karir di bidang apa? Bahkan sampai sekarang saya masih tidak tahu saya mau jadi apa. Kita terlalu terbebani oleh perintah orangtua, mungkin. Dari hal yang simpel aja, ketika SMA dan memilih jurusan pasti jurusan IPA bakal lebih laku dibanding jurusan IPS. Coba aja tengok sendiri deh, kelas IPA pasti lebih banyak daripada kelas IPS. Kenapa sih emang? Apakah dengan masuk IPA menjamin kalau kita lebih pintar dari anak IPS. Tidak  juga. Bahkan kadang di akhir ada anak IPA yang akhirnya masuk kuliah IPS. 

Oh, saya terdengar seperti anak SMA saja ya.

Jujur saja, dulu sewaktu SMA saya sudah meniatkan niat saya untuk masuk IPS dan bukan IPA, toh hasil psikotes, yang entah penilaian nya masih valid atau tidak itu, saya terbukti anak IPS banget. Saya sudah memproyeksikan hidup saya bakal menuju kemana. Saya suka sastra. Saya suka menulis. Saya tidak terlalu suka berjibaku dengan rumus-rumus dan konstanta eksak itu. Saya mau masuk sastra, sejarah, komunikasi atau psikologi. Saya mau berkarir sebagai jurnalis, psikolog ataupun orang yang bergerak di dibidang komunikasi lain nya. Lalu? Ya orangtua saya lalu menyuruh saya masuk IPA saja tanpa tahu kalau saya sebenernya malas. Dan saya gak tidak bisa apa-apa, melawan nanti dibilang durhaka. Padahal untuk apa sih mereka menyuruh saya masuk IPA? Untuk membanggakan di depan orang taua lain nya kalau saya bisa masuk IPA. Tapi kan yang jalanin saya. Saya gamau dijadikan hanya sebagai bahan pamer. Ah, sudahlah andai saya melawan waktu itu, takdir akan berkata lain. 

Gak ada gunanya juga menyesali keputusan yang lalu bukan. Life is simple, you make choice and don't look back. 

Saya tahu, ada kok pekerjaan yang menampung para sarjana kelautan. 
Tapi sebenernya apakah kita benar-benar mau kerja?
We don't want to work, we just want the money
Ya mau gimana lagi yah, that's how life work, you want a money, get a job and stop whining. 

Andai saja banyak orang Indonesia yang mempunyai pikiran bahwa tolak ukur kesuksesan bukan hanya uang, tapi pencapaian. Saya mendapatkan banyak inspirasi dari buku yang NASIONALISME yang ditulis oleh Pandji, kalo sempat bacalah.

Ini bukan tentang idealisme kerja sesuai dengan bidang yang kita pelajari, ini adalah lebih ke apa sih yang kita inginkan buat hidup kita. Nasib kita ada di tangan kita sendiri bukan di tangan orang lain. Ingat, kita masih bisa kok jadi apa yang kita mau. Asal ada usaha dan jelas tidak mudah
  
Sudahkah kamu tau mau jadi seperti apa?
Kalau sudah apakah kamu sudah di jalan itu?
Atau kenyataan dan kebutuhan akan uang sudah menghampiri kamu? 

Life is cruel, indeed.
Semoga masih ada waktu untuk saya sendiri menentukan ingin jadi orang seperti apa saya ini.

(Ditulis untuk sekedar intermezzo pikiran dari bab 4 pembahasan skripsi)       

Tuesday, March 18, 2014

Let It Be

Mungkin dari semua lagunya The Beatles, gw punya beberapa track favorit dan track ini adalah salah satunya. Iya, Let It Be. Let It Be sendiri merupakan single dari The Beatles dari album yang sama yang dikeluarkan kuartet legendaris tahun 1970. Iya, 1970 berarti 34 tahun yang lalu dan gw masih dengan amat senang sering menandungkan nya. Mungkin sampai nanti tahun 3057 juga, masih ada yang dengerin The Beatles. Legends.

Aslinya, lagu ini sih ditulis sama Paul pas dia abis mimpi ketemu almarhum ibunya yang meninggal gara-gara cancer. Dan 'Mother Mary' disini pun tidak direferensikan dengan injil atau agama lain, tapi ya Mother Mary ini merupakan interpretasi McCartney untuk ibunya. Tapi kata Paul lagi, silahkan menginterpretasikan lagu ini sesuai selera masing-masing. Baiklah Paul, mari kita coba!
When I find myself in times of trouble, Mother Mary comes to rescue me. 
Speaking word of wisdom, let it be... 
And in my hour of darkness, she is standing right in front of me. 
Speaking word of wisdom, let it be...
Kadang, dikala kita lagi banyak cobaan hidup, pernah nggak sih berharap bakal dateng seseorang yang selalu ada buat kita buat nasihatin kita dengan bijak? Disini sih  gw menginterpretasikan nya ya emang tentang Ibu. Ketika lagi bener-bener stuck dan ga ada lagi orang untuk mengadu (masih ada Tuhan sih, klo udah stuck banget :p), selalu ada ibu yang jadi tempat terakhir buat lu untuk cerita semua nya. Pasti semua orang pernah kejadian deh kaya gini.

And when the broken hearted people, living in the wold agree. 
There will be an answer, let it be... 
For though they may be parted, there is still a chance that they will see
There will be an answer, let it be...
Waini, bagian ini sih buat orang-orang patah hati. Hahahha. Kadang kita harus tahu, kapan kita harus bener-bener pisah dan yeah go on living, life goes on. Walaupun kadang masih ada sedikit kesempatan, a slight chance, yang ada ke depan nya, percayalah suatu saat bakal ada jawaban nya. Biarlah. Live with it and let go.
And when the night is cloudy, there is still a light that shines on me 
Shine on until tomorrow, let it be... 
I wake up to the sound of music, Mother Mary comes to me 
Speaking words of wisdom, let it be...
Karena percayalah, suatu saat bakal ada cahaya yang akan bersinar terang yang akan selalu menerangi terus untuk besok dan hari-hari berikut nya. Biarlah cahaya nya terus menyinar. Sampai  nanti ketika lu terbangun ditemani suara musik ciamik. Bukankah perlu sebuah malam yang kelam untuk menyambut pagi yang terang dan menyegarkan.

(Gw mau muntah baca paragraf diatas hahaha)

Itu aja sih sebenernya lirik nya, sisanya reffrain dimana cuma teriak let it be dan let it be. Relakan dan biarkan. Lagu ini sangat menyihir dari denting piano pertama sampai ditengah ketika mulai masuk instrumen lain nya apalagi ketika selesai reff pertama dimana ada suara syntheizer lalu disusul dengan melodi gitar dari George yang membuai. Mendengarkan nya sambil menutup mata, sambil mendengar John dan Paul menasihati kita untuk merelakan. Biarlah. Let It Be. Ada sebuah pesan untuk merelakan dengan lega suatu masalah.

Huaah salah satu lagu pendamai untuk diri sendiri.
Ini gw mencoba untuk meng-cover dengan suara seadanya dan kemampuan gitar yang seadanya pula :p. Kali berkenan untuk mendengarkan.

Let It Be, Let It Be!

Saturday, March 8, 2014

Jam Tangan


Mari bercerita. Saya sedang tidak mau sok keren dengan menggunakan bahasa Inggris. Mari perkaya diksi.
 


Jam tangan. 
Dia selalu terpasang di pergelangan tangan kiri ku dengan erat. Ku bawa pergi kemanapun. Tidak, jam ini bukan jam mahal berlapis emas, kawan. Ini hanya jam biasa yang harga nya paling mungkin untuk ku jangkau. Orang bilang kita harus terbiasa dahulu sebelum menyatu satu sama lain. Begitu pula aku dan jam tangan ku. Hampir 5 bulan jam ini ku beli, kupakai setiap hari bahkan kadang aku lupa melepas nya sewaktu melepas lelah. Aku hafal bau keringat yang seringkali kuendus tiap kali ku lepaskan ia dari kulitku. 

Tangan kiri ku terasa lebih ringan. Ah, aku lupa memakai nya kali ini. Bukan masalah besar sebenarnya, tapi tetap mengangguku. Aku sudah terbiasa. Biasa tangan kiri ku lebih berat beberapa gram dari pergelangan tangan kanan ku. Biasa melihat sekarang pukul berapa tanpa harus menanyakan atau melihat sekeliling mencari tahu. Biasa mengendus bau keringat ku tepat setelah melepas sang jam dari kulitku.  

Iya aku hanya lupa. Aku hanya tidak terbiasa jika ia tidak ada. Bagi sebagian orang mungkin ini adalah hal yang amat sangat tidak penting. Tapi buat ku penting. Jam ini sudah jadi bagian dariku. 

Kali ini mungkin aku hanya lupa tidak memakainya. Bagaimana jika aku kehilangan nya? Bukan, bukan aku tidak mau mengganti nya dengan yang baru. Tapi aku terlalu malas untuk beradaptasi dengan jam baru. Bagaimana kalau ia ternyata tidak cocok dengan kulitku yang kering? Bagaimana kalau ia tiba-tiba berhenti bekerja karena aku yang terlalu sering berada di bawah terik? Memikirkan nya saja aku sudah malas. 

Aku mungkin bukan penyimpan yang baik. Banyak hal tak beraturan yang malas untuk ku tata. Baik itu di kamarku atau pun di hidupku. Dan mungkin jam ini bukan jam terbaik. Dia juga bukan jam termahal. Tapi aku merasa kita pas satu sama lain. Aku bahkan sampai sekarang belum tau bagaimana mengatur jam ini 10 menit lebih maju dari waktu biasa.

Aku ingin mengutip Paulo Coelho, dia berkata "Tak ada satu hal pun yang sia-sia. Bahkan jam mati pun menunjukkan waktu yg tepat dua kali sehari". Aku setuju. Tapi jam ku bukan jam dengan jarum. Jam ku hanya menampilkan angka secara digital dan numerik untuk menunjukkan.              
Tidak, jam ku tidak hilang. Dia masih ada. Tapi kali ini dia tidak berfungsi. Entah. Hanya kosong yang dia tampilkan. Tak ada jarum. Coelho pasti hanya punya jam analog dengan 3 jarum jam. 

Biarlah. Bukan kah sudah kubilang aku telah terbiasa dengan ada nya ia di pergelangan tangan kiriku? Mungkin sekarang dia sedang tidak berfungsi, tapi setidak nya dia masih tetap ada. Walau kadang ku pikir tak ada guna juga kupakai. 

Sampai nanti saatnya ketika memang harus mencari jam baru atau membawa jam ini ke pusat reparasi. Biarlah saja ia begini. Masih ada walau hanya menunjukkan satu hal. Kosong.